A. Pengertian
Belajar Kognitif
Belajar kognitif
memandang belajar sebagai proses memfungsikan unsur-unsur kognisi, terutama
unsur pikiran, untuk dapat mengenal dan memahami stimulus yang datang dari
luar. Aktivitas belajar pada diri manusia ditekankan pada proses internal
berfikir, yakni proses pengolahan informasi.
Teori belajar kognitif
lebih
menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh Winkel (1996: 53) bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif dan berbekas”.
menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh Winkel (1996: 53) bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif dan berbekas”.
Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang
melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari
proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan
dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap
yang bersifat relatif dan berbekas.
Teori belajar kognitif ini memfokuskan perhatiannya kepada bagaimana dapat
mengembangkan fungsi kognitif individu agar mereka dapat belajar dengan
maksimal. Faktor kognitif bagi teori belajar kognitif merupakan faktor pertama
dan utama yang perlu dikembangkan oleh para guru dalam membelajarkan peserta
didik, karena kemampuan belajar peserta didik sangat dipengaruhi oleh sejauh
mana fungsi kognitif peserta didik dapat berkembang secara maksimal dan optimal
melalui sentuhan proses pendidikan.
Peranan
guru menurut teori belajar kognitif ialah bagaimana dapat mengembangkan potensi
kognitif yang ada pada setiap peserta didik. Jika potensi yang ada pada setiap
peserta didik telah dapat berfungsi dan menjadi aktual oleh proses pendidikan
di sekolah, maka peserta akan mengetahui dan memahami serta menguasai materi
pelajaran yang dipelajari di sekolah melalui proses belajar mengajar di kelas.
Pengetahuan
tentang kognitif peserta didik perlu dikaji secara mendalam oleh para calon
guru dan para guru demi untuk menyukseskan proses pembelajaran di kelas. Tanpa
pengetahuan tentang kognitif peserta didik guru akan mengalami kesulitan dalam
membelajarkan peserta didik di kelas yang pada akhirnya mempengaruhi rendahnya
kualitas proses pendidikan yang dilakukan oleh guru di kelas melalui proses
belajar mengajar antara guru dengan peserta didik
B. Tokoh-Tokoh Teori Belajar Kognitif
1.
PIAGIET
Dalam teorinya, Piaget
memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi
intelektual dari konkret menuju abstrak. Piaget adalah ahli psikolog
developmentat karena penelitiannya mengenai tahap tahap perkembangan pribadi
serta perubahan umur yang mempengaruhi kemampuan belajar individu. Menurut
Piaget, pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan-kemapuan mental yang
sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan intelektuan adalah tidak kuantitatif,
melainkan kualitatif. Dengan kata lain, daya berpikir atau kekuatan mental anak
yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif.
Jean Piaget mengklasifikasikan perkembangan kognitif anak menjadi beberapa
tahap yaitu:
a. Tahap sensory
– motor, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 0-2
tahun, Tahap ini diidentikkan dengan kegiatan motorik dan persepsi yang masih
sederhana.
Cirri-ciri tahap sensorimotor :
1) Didasarkan
tindakan praktis.
2) Inteligensi
bersifat aksi, bukan refleksi.
3) Menyangkut
jarak yang pendek antara subjek dan objek.
4) Mengenai
periode sensorimotor:
5) Umur
hanyalah pendekatan. Periode-periode tergantung pd banyak faktor lingkungan
sosial dan kematangan fisik.
6) Urutan
periode tetap.
7) Perkembangan
gradual dan merupakan proses yang kontinu.
b. Tahap pre
– operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 2-7
tahun. Tahap ini diidentikkan dengan mulai digunakannya symbol atau bahasa
tanda, dan telah dapat memperoleh pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak
abstrak.
c. Tahap concrete
– operational, yang terjadi pada usia 7-11 tahun. Tahap ini dicirikan
dengan anak sudah mulai menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis. Anak
sudah tidak memusatkan diri pada karakteristik perseptual pasif.
d. Tahap formal
– operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia
11-15 tahun. Ciri pokok tahap yang terahir ini adalahanak sudah mampu berpikir
abstrak dan logisdengan menggunakan pola pikir “kemungkinan”.
Dalam pandangan Piaget,
proses adaptasi seseorang dengan lingkungannya terjadi secara simultan melalui
dua bentuk proses, asimilasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi jika pengetahuan
baru yang diterima seseorang cocok dengan struktur kognitif yang telah dimiliki
seseorang tersebut. Sebaliknya, akomodasi terjadi jika struktur
kognitif yang telah dimiliki seseorang harus direkonstruksi / di kode ulang
disesuaikan dengan informasi yang baru diterima.
Dalam teori perkembangan
kognitif ini Piaget juga menekankan pentingnya penyeimbangan (equilibrasi)
agar seseorang dapat terus mengembangkan dan menambah pengetahuan sekaligus
menjaga stabilitas mentalnya.Equilibrasi ini dapat dimaknai sebagai sebuah
keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan
pengalaman luar dengan struktur dalamya. Proses perkembangan intelek seseorang
berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi dan akomodasi
Menurut Jean Piagiet,
bahwa proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yaitu :
a. Asimilasi yaitu
proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif
yang sudah ada dalam benak siswa. Contoh, bagi siswa yang sudah mengetahui
prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip perkalian, maka proses
pengintegrasian antara prinsip penjumlahan (yang sudah ada dalam benak siswa),
dengan prinsip perkalian (sebagai informasi baru) itu yang disebut
asimilasi.
b. Akomodasi yaitu
penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Contoh, jika siswa
diberi soal perkalian, maka berarti pemakaian (aplikasi) prinsip perkalian
tersebut dalam situasi yang baru dan spesifik itu yang disebut akomodasi.
c. Equilibrasi (penyeimbangan)
yaitu penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Contoh, agar
siswa tersebut dapat terus berkembang dan menambah ilmunya, maka yang
bersangkutan menjaga stabilitas mental dalam dirinya yang memerlukan proses
penyeimbangan antara “dunia dalam” dan “dunia luar”.
Proses belajar yang
dialami seorang anak pada tahap sensori motor tentu lain dengan yang dialami
seorang anak yang sudah mencapai tahap kedua (pra-operasional) dan lain lagi
yang dialami siswa lain yang telah sampai ke tahap yang lebih tinggi
(operasional kongrit dan operasional formal). Jadi, secara umum, semakin tinggi
tingkat kognitif seseorang, semakin teratur (dan juga semakin abstrak) cara
berfikirnya.
Dikemukakannya pula,
bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan
kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk
melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan
teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya
banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan
lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
2.
AUSUBEL
Menurut Ausubel, siswa
akan belajar dengan baik jika “pengatur kemajuan (belajar)” atau advance
organizer didefinisikan dan dipresentasikan dengan baik dan tepat
kepada siswa. Pengatur kemajuan belajar adalah konsep atau informasi umum yang
mewadahi (mencakup) semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa.
David Ausubel merupakan
salah satu tokoh ahli psikologi kognitif yang berpendapat bahwa keberhasilan
belajar siswa sangat ditentukan oleh kebermaknaan bahan ajar yang
dipelajari. Ausubel menggunakan istilah “pengatur lanjut” (advance
organizers) dalam penyajian informasi yang dipelajari peserta didik agar
belajar menjadi bermakna.
Selanjutnya dikatakan
bahwa “pengatur lanjut” itu terdiri dari bahan verbal di satu pihak, sebagian
lagi merupakan sesuatu yang sudah diketahui peserta didik di pihak
lain. Dengan demikian kunci keberhasilan belajar terletak
pada kebermaknaan bahan ajar yang diterima atau yang dipelajari oleh siswa..
Ausubel tidak setuju dengan pendapat bahwa kegiatan belajar penemuan lebih
bermakna dari pada kegiatan belajar. Dengan ceramahpun asalkan informasinya
bermakna bagi peserta didik, apalagi penyajiannya sistimatis akan diperoleh
hasil belajar yang baik pula.
Ausubel
mengidentifikasikan empat kemungkinan tipe belajar, yaitu (1) belajar
dengan penemuan yang bermakna, (2) belajar dengan ceramah yang bermakna, (3)
Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna, dan (4) belajar dengan ceramah
yang tidak bermakna. Dia berpendapat bahwa menghafal berlawanan dengan
bermakna, karena belajar dengan menghafal, peserta didik tidak dapat mengaitkan
informasi yang diperoleh itu dengan pengetahuan yang telah
dimilikinya. Dengan demikian bahwa belajar itu akan lebih berhasil jika
materi yang dipelajari bermakna.
3.
BRUNER
Menurut
Brunner, pembelajaran hendaknya dapat menciptakan situasi agar mahasiswa
dapat belajar dari diri sendiri melalui pengalaman dan eksperimen untuk
menemukan pengetahuan dan kemampuan baru yang khas baginya. Dari sudut
pandang psikologi kognitif, bahwa cara yang
dipandang efektif untuk meningkatkan kualitas output
pendidikan adalah pengembangan program-program pembelajaran yang
dapat mengoptimalkan keterlibatan mental intelektual pembelajar pada
setiap jenjang belajar.
Sebagaimana
direkomendasikan Merril, yaitu jenjang yang bergerak dari tahapan
mengingat, dilanjutkan ke menerapkan, sampai pada tahap penemuan
konsep, prosedur atau prinsip baru di bidang disiplin
keilmuan atau keahlian yang sedang dipelajari.
Dalam teori
belajar, Jerome Bruner berpendapat bahwa kegiatan belajar akan
berjalan baik dan kreatif jika siswa dapat menemukan sendiri suatu aturan atau
kesimpulan tertentu. Dalam hal ini Bruner membedakan menjadi tiga
tahap. Ketiga tahap itu adalah: (1) tahap informasi, yaitu tahap awal
untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru, (2) tahap
transformasi, yaitu tahap memahami, mencerna dan menganalisis pengetahuan
baru serta mentransformasikan dalam bentuk baru yang mungkin bermanfaat untuk
hal-hal yang lain, dan (3) evaluasi, yaitu untuk mengetahui apakah
hasil tranformasi pada tahap kedua tadi benar atau tidak.
Bruner mempermasalahkan
seberapa banyak informasi itu diperlukan agar dapat ditransformasikan
. Perlu Anda ketahui, tidak hanya itu saja namun juga ada empat
tema pendidikan yaitu: (1) mengemukakan pentingnya arti struktur pengetahuan,
(2) kesiapan (readiness) siswa untuk belajar, (3) nilai intuisi dalam
proses pendidikan dengan intuisi, (4) motivasi atau keinginan untuk belajar siswa,
dan curu untuk memotivasinya.
Dengan demikian Bruner
menegaskan bahwa mata pelajaran apapun dapat diajarkan secara
efektif dengan kejujuran intelektualkepada anak, bahkan dalam
tahap perkembangan manapun. Bruner beranggapan bahwa anak
kecilpun akan dapat mengatasi
permasalahannya, asalkan dalam kurikulum berisi tema-tema hidup, yang
dikonseptualisasikan untuk menjawab tiga pertanyaan.Berdasarkan uraian di
atas, teori belajar Bruner dapat disimpulkan bahwa, dalam proses belajar
terdapat tiga tahap, yaitu informasi, trasformasi, dan evaluasi. Lama tidaknya
masing-masing tahap dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain banyak
informasi, motivasi, dan minat siswa.
Bruner juga memandang
belajar sebagai “instrumental conceptualisme” yang mengandung makna adanya
alam semesta sebagai realita, hanya dalam pikiran manusia. Oleh karena
itu, pikiran manusia dapat membangun gambaran mental yang sesuai dengan pikiran
umum pada konsep yang bersifat khusus. Semakin bertambah dewasa kemampuan
kognitif seseorang, maka semakin bebas seseorang memberikan respon
terhadap stimulus yang dihadapi. Perkembangan itu banyak tergantung kepada
peristiwa internalisasi seseorang ke dalam sistem penyimpanan yang sesuai
dengan aspek-aspek lingkungan sebagai masukan.
Teori belajar psikologi
kognitif memfokuskan perhatiannya kepada bagaimana dapat
mengembangkan fungsi kognitif individu agar mereka dapat belajar dengan
maksimal. Faktor kognitif bagi teori belajar
kognitif merupakan faktor pertama dan utama yang perlu
dikembangkan oleh para guru dalam membelajarkan peserta didik, karena
kemampuan belajar peserta didik sangat dipengaruhi oleh sejauhmana fungsi
kognitif peserta didik dapat berkembang secara maksimal dan optimal melalui
sentuhan proses pendidikan.
Peranan
guru menurut psikologi kognitif ialah bagaimana dapat mengembangkan
potensi kognitif yang ada pada setiap peserta didik. Jika potensi kognitif yang
ada pada setiap peserta didik telah dapat berfungsi dan menjadi aktual
oleh proses pendidikan di sekolah, maka peserta didik akan mengetahui dan
memahami serta menguasai materi pelajaran yang dipelajari di sekolah melalui
proses belajar mengajar di kelas.
Bloom dan Krathwohl
menunjukkan apa yang mungkin dikuasai (dipelajari) oleh siswa, yang
tercakup dalam tiga kawasan yang diantaranya
: Kognitif. Kognitif terdiri dari enam tingkatan, yaitu :
1.
Pengetahuan (mengingat, menghafal),
2.
Pemahaman (menginterpretasikan),
3.
Aplikasi / penerapan (menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah),
4.
Analisis (menjabarkan suatu konsep),
5.
Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh),
6.
Evaluasi (membandingkan nilai, ide, metode dan sebagainya).
Oleh karena itu para
ahli teori belajar psikologi kognitif berkesimpulan bahwa salah
satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran di
kelas ialah faktor kognitif yang dimiliki oleh peserta didik.
Faktor kognitif merupakan jendela bagi masuknya berbagai pengetahuan yang
diperoleh peserta didik melalui kegiatan belajar mandiri maupun kegiatan
belajar secara kelompok.
C. Macam-macam
Teori Belajar Kognitif
Yang termasuk teori belajar kognitif
adalah:
1. Teori belajar Pengolahan Informasi
Gambar
tersebut menunjukkan titik awal dan akhir dari peristiwa pengolahan informasi.
Garis putus-putus menunjukkan batas antara kognitif internal dan dunia
eksternal. Dalam model tersebut tampak bahwa stimulus fisik seperti cahaya,
panas, tekanan udara, ataupun suara ditangkap oleh seseorang dan disimpan
secara cepat di dalam sistem penampungan penginderaan jangka pendek. Apabila
informasi itu diperhatikan, maka informasi itu disampaikan ke memori jangka
pendek dan sistem penampungan memori kerja. Apabila informasi di dalam kedua
penampungan tersebut diulang-ulang atau disandikan, maka dapat dimasukkan ke
dalam memori jangka panjang.
Kebanyakan, peristiwa lupa terjadi karena informasi di dalam memori jangka
pendek tidak pernah ditransfer ke memori jangka panjang. Tapi bisa juga terjadi
karena seseorang kehilangan kemampuannya dalam mengingat informasi yang telah
ada di dalam memori jangka panjang. Bisa juga karena interferensi, yaitu
terjadi apabila informasi bercampur dengan atau tergeser oleh informasi lain.
2. Teori belajar Kontruktivisme
Teori belajar Kontruktivisme
memandang bahwa:
Belajar berarti mengkontruksikan makna
atas informasi dari masukan yang masuk ke dalam otak, yang diantaranya:
v Peserta didik harus menemukan dan mentransformasikan informasi kompleks ke
dalam adirinya sendiri.
v Peserta didik sebagai
individu yang selalu memeriksa informasi baru yang berlawanan dengan
prinsip-prinsip yang telah ada dan merevisi prinsip-prinsip tersebut apabila
sudah dianggap tidak bisa digunakan lagi.
v Peserta didik
mengkontruksikan pengetahuannya sendiri melalui interaksi dengan lingkungannya.
Teori Kontruktivisme menetapkan 4
asumsi tentang belajar, yaitu:
· Pengetahuan secara fisik dikonstruksikan oleh peserta didik yang terkibat dalam
belajar aktif.
· Pengetahuan secara simbolik dikonstruksikan oleh peserta didik yang membuat
representasi atas kegiatannya sendiri.
· Pengetahuan secara sosial dikonstruksikan oleh peserta didik yang
menyampaikan maknanya kepada orang lain.
· Pengetahuan secara teoritik dikonstruksikan oleh peserta didik yang mencoba
menjelaskan obyek yang tidak benar-benar dipahaminya
Slavin menyarankan 3 strategi belajar efektif, yaitu:
ü Membuat catatan
ü Belajar kelompok
ü Menggunakan metode PQ4R
(preview, question, read, reflect, recite, review)
D.
Belajar Sebagai Proses Kognitif
Teori kognitif adalah
teori yang umumnya dikaitkan dengan proses belajar. Kognisi adalah kemampuan
psikis atau mental manusia yang berupa mengamati, melihat, menyangka,
memperhatikan, menduga dan menilai. Dengan kata lain, kognisi menunjuk pada
konsep tentang pengenalan. Teori kognitif menyatakan bahwa proses belajar
terjadi karena ada variabel penghalang pada aspek-aspek kognisi seseorang
(Mulyati, 2005)
Teori belajar kognitif
lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Belajar
tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, lebih dari itu
belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Belajar adalah
perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu
berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati.
Dari beberapa teori
belajar kognitif diatas (khusunya tiga di penjelasan awal) dapat pemakalah
ambil sebuah sintesis bahwa masing masing teori memiliki kelebihan dan
kelemahan jika diterapkan dalam dunia pendidikan juga pembelajaran. Jika
keseluruhan teori diatas memiliki kesamaan yang sama-sama dalam ranah psikologi
kognitif, maka disisi lain juga memiliki perbedaan jika diaplikasikan dalam
proses pendidikan.
Sebagai misal, Teori
bermakna ausubel dan discovery Learningnya bruner memiliki sisi pembeda. Dari
sudut pandang Teori belajar Bermakna Ausubel memandang bahwa justeru ada bahaya
jika siswa yang kurang mahir dalam suatu hal mendapat penanganan dengan teori
belajar discoveri, karena siswa cenderung diberi kebebasan untuk mengkonstruksi
sendiri pemahaman tentang segala sesuatu. Oleh karenanya menurut teori belajar
Bermakna guru tetap berfungsi sentral sebatas membantu mengkoordinasikan
pengalaman-pengalaman yang hendak diterima oleh siswa namun tetap dengan
koridor pembelajaran yang bermakna.
Dari poin diatas dapat
penulis ambil garis tengah bahwa beberapa teori belajar kognitif diatas,
meskipun sama-sama mengedepankan proses berpikir, tidak serta merta dapat
diaplikasikan pada konteks pembelajaran secara menyeluruh. Terlebih untuk
menyesuaikan teori belajar kognitif ini dengan kompleksitas proses dan sistem
pembelajaran sekarang maka harus benar-benar diperhatikan antara karakter
masing-masing teori dan kemudian disesuakan dengan tingkatan pendidikan maupun
karakteristik peserta didiknya.
0 comments:
Post a Comment